27 Juni 2012

Mendidik Anak adalah Pilihan


dokumen pribadi


Ny Yayah Komariah selalu setia mendampingi kelima bila mereka belajar. Topik yang dibicarakan adalah suka-suka, tergantung keinginan mereka. Namun yang paling seru dan sering dibicarakan adalah pada mata pelajaran Matematika. Hasan yang baru berumur 7 tahun, mempunyai cita-cita menjadi astronot dan suatu saat ingin ke Planet Mars. Vida, sang kakak ingin menjadi guru. Sungguh mulia harapan mereka. Ruangan depan yang berukuran 3 x 3 menjadi arena untuk memacu diri, agar tidak kalah dengan teman-teman yang sempat mengenyam di bangku sekolah. Itulah kisah yang saya nukilkan pada buku Home Schooling terbitan kompas, 2007.

“Masuk ke sekolah formal yang bermutu biayanya mahal, sedikitnya Rp. 3 juta dengan biaya bulanan Rp. 150.000. Saya sudah pernah mau mendaftarkan anak saya ke SD negeri, tetapi begitu melihat guru untuk 40 anak, saya ngeri juga memasukkan anak ke sistim itu” itu alasan Ny Yayah, mengapa dia lebih senang memilih Home Schooling. Latar belakang pendidikan beliau saja, dia lebih enjoy untuk mendidik anaknya sendiri. Dengan berbekal mantan seorang guru, ternyata bukan hanya anaknya sendiri yang selalu mengikuti kegiatan belajar di rumah. Tercatat beberapa tetangga juga tertarik untuk membentuk kelompok, mendirikan sekolah di rumah.
Alasan apa lagi yang rupanya sekelompok masyarakat untuk menolak sekolah formal? Seperti yang dituturkan Wati. “Anak pertama saya, Fini, memerlukan waktu sedikit lebih lama dibandingkan Fina, adiknya, untuk memahami sebuah persoalan. Hal ini bukan berarti Fini, tidak pandai, tetapi dia memerlukan waktu atau cara lain untuk mengerti hal baru. Ini yang sering tidak dipahami guru. Guru tidak sempat member perhatian kepada murid satu persatu karena yang jadi tanggung jawabnya banyak sekali”. Itulah kekhasan seseorang. Keunikan seseorang sering tidak menjadi perhatian guru yang mengajar di kelas. Kelemahan klasikal yang hampir tiap hari kita temui. Semua siswa dalam satu kelas dianggap rata.
Kedua ibu rumah tangga yang telah saya sebutkan diatas, adalah mereka yang siap mendidik anaknya sendiri di rumah. Mereka benar, karena kegiatan seperti itu dilindungi undang-undang. “Kegiatan pendidikan informal yang dilakukan oleh keluarga dan lingkungan berbentuk kegiatan belajar secara mandiri” itu bunyi Pasal 27  Ayat (1) yang tertera dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Pada ayat (2) disebutkan “Hasil pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diakui sama dengan pendidikan formal dan non formal setelah peserta didik lulus ujian sesuai dengan standar nasional pendidikan”.
Ada anggapan bahwa anak yang belajar di rumah kurang dalam kegiatan bersosial. Menurut pengakuan beberapa orangtua tidak benar. Justru yang terjadi adalah anak lebih berinisiatif. “Gagah kini lebih banyak berinisiatif dan komunikatif mengutarakan pendapatnya dan bercerita apa yang dialaminya sehari-hari, Padahal, sebelumnya sangat pendiam….” Ungkap Nano Riantiarno, tokoh teater.
Apakah pembaca berminat untuk mendirikan Home Schooling? Sekarang, sudah banyak lembaga-lembaga konsultan pendidikan non pemerintah didirikan. Dari mereka kita bisa mendapatkan informasi tentang kelemahan dan kelebihan sekolah formal. Pemerintah sendiri juga sudah menyatakan wellcome, bila suatu saat dimintai informasi tentang perkembangan pendidikan. Teknologi Informasi (internet) juga sebagai sarana yang tepat mendapatkan gambaran, sekaligus sharing mengenai home schooling.
Mendidik anak adalah pilihan. Sekolah formal atau home schooling toh pada akhirnya yang paling berperan tetap orangtua. 

sumber bacaan :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar