7 Agustus 2012

TEH

sumber gambar : hidupgaya.com


Ada kerinduan yang amat sangat menyengat di relung hati, manakala saya menikmati secangkir teh asli Tambi. Tambi adalah nama desa dilereng gunung Petarangan. 15-an kilometer dibawah Dieng, Wonosobo. Tambi merupakan daerah penghasil teh yang terkenal sejak jaman penjajahan Belanda.
Sebelum kemasan teh Tambi seperti yang sekarang bisa kita rasakan, teh diolah dengan cara tradisional. Teh Tambi jaman dulu, masih berbentuk daun kering, warna hitam, tidak ditambah dengan bumbu apapun. Rasanya luar biasa pahit tapi sepet dan tentu saja enak. Itulah kerinduan yang selalu menyembul, manakala meneguk teh, diseduh tanpa gula lebih nikmat.  
Berbeda dengan ujud teh sekarang. Tehnya sudah melalui proses di pabrik, lembut, dan warnanya hijau. Enak juga. Tapi tidak seenak teh hasil olahan ibu-ibu, dengan cara dimasak dengan kuali tanah. Rasanya murni teh pegunungan.
Ada proses kimiawi, yang mampu menghubungkan memori belasan tahun silam, saat masih berkelakar dengan teman sebaya. Tak ada penawar dahaga yang mampu mengobati kehausan sekaligus kerinduan yang menggebu, selain minum teh Tambi. Paling tidak untuk saya sendiri. Sayapun yakin dengan pembaca yang kebetulan berasal dari kawasan pegunungan. Orang Pemalang dan seputar pasti sangat intim dengan teh Poci. Daerah-daerah lain juga sama. Bagaimana dengan teh Padang? Ah…. Pasti pembaca sangat akrab dengan minuman ini. Setiap Rumah Makan Padang hampir dapat dipastikan selalu menyertai dalam setiap hidangan makan Padang.
Bagaimana nenek moyang kita bisa menemukan teh sebagai minuman. Apakah mereka menemukan dengan penelitian? Atau kebetulan belaka? Konon, teh yang pertama kali ditemukan pada tahun 2.737 SM diperoleh secara tak sengaja. Serdadu kaisar Sheh Nong, suatu saat beristirahat di hutan. Juru masak, sebagaimana biasanya memasak air untuk penawar dahaga. Tanpa sengaja, daun teh jatuh kedalam air yang telah mendidih. Efeknya menimbulkan kesegaran, setelah diminum. Oleh sang kaisar daun teh ini kiriman dari surga. Maka setiap minum teh, diikuti dengan upacara-upacara tertentu sebagai bentuk nilai sacral. Tidak semua orang boleh minum teh. Hanya kalangan kerajaan dan tamu agung.
Rupanya ritual minum teh ini, dipopulerkan oleh Sen No Rikyu untuk keluarga kaisar Jepang pada abad 16. Di Jepang, minum teh lebih rumit lagi. Tidak sembarangan orang boleh minum teh. Setiap adegan demi adegan ada aturannya. Bahkan upacara minum teh harus dipandu oleh orang yang sudah ahli. Jamuan minum teh, merupakan bagian dari pertemuan tingkat tinggi. Minum teh adalah peristiwa untuk memikirkan Negara.
Raja Charles II dan istrinya Catherine de Bragarza, adalah orang yang mempelopori minum teh dikalangan Bangsawan Inggris. Ritual minum teh di Inggris ini bisa dilacak sejak tahun 1652. Demikian pula kebiasaan petinggi Negara di Rusia. Mereka melakukan acara minum teh dengan cara berdiri. Meniru Eropa.
Lain halnya di Irak. Minum teh adalah kewajiban. Berapapun banyak pekerjaan yang harus diselesaikan. Betapapun letih, setelah seharian kerja. Apapun kesibukannya, bila sore menjelang tiba, minum teh adalah bagian dari kewajiban. Dengan cara melingkar, khas etnik arab berkumpul, mereka asyik bertukar pikiran sambil minum teh. Belum ada informasi, apakah pada saat Irak perang dengan Iran maupun sekutu, mereka sempat minum teh kala sore hari?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar